Kamis, 17 Agustus 2017

Menjaga Sang Pelindung Taman Nasional Lorentz

Paulus Animamea (8 tahun) sedang menyelam mencari ikan di Kali Muanapea, Kampung Nayaro. Kampung Nayaro yang didiami masyarakat Kamoro berperan penting sebagai daerah penyangga bagi Taman Nasional Lorentz dari ancaman tailing atau sisa tambang PT. Freeport.
Salah satu kampung yang menjadi daerah dampingan Lorentz Lowland Landscape LESTARI saat ini adalah Kampung Nayaro yang terletak di Distrik Mimika Baru, kabupaten Mimika, Papua. Kampung ini merupakan salah satu kampung yang masuk dalam wilayah konsesi PT. Freeport Indonesia (PTFI). Jaraknya cukup dekat dari Kota Timika. Namun dibutuhkan waktu sekitar satu setengah hingga dua jam perjalanan dengan bus untuk sampai kampung ini. Dari Kota Timika, kita harus menuju arah utara kemudian menyeberangi Sungai Otomona yang dijadikan daerah aliran tailing atau material sisa pasir tambang PTFI, lalu memutar kembali ke arah selatan, sebelum sampai di daerah pemukiman Kampung Nayaro. Untuk memudahkan akses masyarakat, PTFI menyediakan dua buah bus yang setiap hari mengantar masyarakat keluar masuk kampung.

Wilayah Kampung Nayaro yang dimilki secara adat oleh masyarakat Suku Kamoro membentang mulai dari pesisir selatan Papua sampai daerah dataran tinggi di Mile 50 PTFI. Letaknya sangat penting karena berbatasan langsung dengan Sungai Otomona yang menjadi daerah aliran tailing PTFI juga dengan Taman Nasional Lorentz di sebelah timur. Jadi, walaupun belum ditetapkan, Kampung Nayaro dapat dikatakan merupakan daerah penyangga (buffer zone) bagi Taman Nasional Lorentz di bagian dataran rendah hingga pesisir. Terjaganya kualitas alam Kampung Nayaro berarti kabar baik bagi kelestarian Taman Nasional Lorentz. Sebaliknya, degradasi kawasan yang terjadi di Kampung Nayaro merupakan ancaman bagi keberlangsungan taman nasional terluas di Asia Tenggara tersebut.

Letaknya yang strategis dan kualitas alam yang masih baik membuat program LESTARI memilih Kampung Nayaro menjadi salah satu daerah dampingan. Menurut hasil kajian resilian (resilience assessment) yang LESTARI lakukan pada tahun 2016, sistem ekologi Kampung Nayaro masih dalam fase konservatif. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi alam di kampung ini masih terjaga dengan baik. Hutannya yang masih alami dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat untuk pemenuhan pangan dan ekonomi keluarga.

Dengan kondisi alam Kampung Nayaro yang masih konservatif, kajian resilian kemudian merekomendasikan intervensi yang sifatnya membangun atau mempertahankan ketahanan. Dirancang kemudian dua kegiatan aksi, yaitu, Fasilitasi dan Pendampingan Masyarakat untuk Pengelolaan Hutan dan Lahan Secara Berkelanjutan serta Penguatan dan Inventarisasi Masyarakat Hukum Adat. Kedua kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. selain itu, melalui proses inventarisasi masyarakat hukum adat, diidentifikasi pula kelembagaan adat serta nilai-nilai kearifan masyarakat dalam memanfaatkan alam secara turun-temurun.

Pemetaan partisipatif dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat Kampung Nayaro juga dilakukan dalam rangkaian dua kegiatan tersebut. Lokasi-lokasi penting masyarakat dimasukkan di dalam sketsa peta wilayah kampung, mulai dari dusun sagu (wilayah hutan tempat mencari makan), tempat berburu, lokasi pemukiman, sampai yang paling penting, tempat-tempat keramat. Tempat keramat adalah suatu wilayah yang dilindungi secara khusus oleh masyarakat adat di Kampung Nayaro. Menurut Kepala Suku Kampung Nayaro, Paulinus Yamiro, lokasi yang ditetapkan sebagai tempat keramat merupakan lokasi-lokasi yang menjadi bagian dari sejarah leluhur mereka di masa lalu, seperti kampung lama dan pemakaman. “Tempat keramat ini tidak boleh diganggu. Ini bagian dari sejarah kami. Kalau tempat keramat rusak leluhur bisa marah, kita bisa celaka,” kata Paulus Yamiro dalam pertemuan yang dilakukan di Kampung Nayaro.

Dalam peta partisipatif Kampung Nayaro, masyarakat juga membagi wilayah mereka dalam beberapa zonasi tradisional. Dari penyusunan tersebut dihasilkan enam wilayah zonasi tradisional Kampung Nayaro: Zonasi Lindung Kaki Gunung, Zonasi Lindung Keramat Sejarah, Zonasi Pemanfaatan Kayu, Zonasi Pemanfaatn Pemukiman, Zonasi Pemanfaatan Perikanan, Zonasi Pemanfaatan Sagu dan Berburu. Penyusunan zonasi tradisional ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat Kampung Nayaro dalam mengelola sumber daya alam sesuai dengan peruntukannya.

“Peta dan zonasi (tradisional) ini sangat membantu kami di dalam kampung. Ini bisa dipakai untuk menyatukan pemahaman masyarakat dalam mengelola alam dengan lestari. Orang-orang tidak boleh lagi melepas tanah sembarangan,” kata Samuel Betaubun, tokoh pemuda Kampung Nayaro.

Pada bulan Mei 2017, kedua kegiatan pendampingan di Kampung Nayaro tersebut telah memasuki proses akhir. Dalam pertemuan yang berjalan beberapa bulan dihasilkan dokumen Rencana Pengelolaan Sumber Daya Alam (RPSDA) serta profil masyarakat hukum adat Kampung Nayaro. Dokumen RPSDA berisi gambaran situasi kampung (sejarah dan wilayah kampung), potensi, serta kelembagaan dan peluang kemitraan. Sementara profil masyarakat hukum adat menyediakan informasi tentang kelembagaan adat serta nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kampung Nayaro dalam memanfaatkan alam. Kedua dokumen ini nantinya dapat dipakai oleh Kampung Nayaro sebagai bahan advokasi dalam menyusun program lanjutan di dalam kampung.

Dari lima kampung yang LESTARI dampingi di Mimika dan Asmat, saat ini Kampung Nayaro menjadi prioritas dalam program collaborative management. Konsep co-management merupakan suatu proses yang bertujuan mendorong para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam merencanakan, melaksanakan, hingga mengevalusi program di suatu wilayah. Selain masyarakat kampung, pihak pemerintah dan swasta sebagai stakeholder utama di Kampung Nayaro juga diharapkan pro aktif dalam menjaga kelestarian sumber daya alam sekaligus menjamin kesejahteraan masyarakat. Tentu saja dibutuhkan keinginan untuk saling berkolaborasi dalam kedudukan yang setara untuk mewujudkan hal tersebut.

Dengan peran penting yang diemban Kampung Nayaro sebagai benteng pertahanan Taman Nasional Lorentz, sudah seharusnya semua pihak mengambil peran dalam menjaga kelestariannya. Segala potensi juga ancaman bagi keberlangsungan hutan di wilayah kampung ini haruslah dikelola bersama. Alam dan masyarakat dengan segala kearifannya tentu tidak bisa bertahan sendirian dari bahaya kerusakan. Dibutuhkan dukungan dari para pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan ruang hidup masyarakat Nayaro ini tetap lestari.

Minggu, 13 Agustus 2017

Semalam di Asei


Selepas hingar bingar tiga hari Festival Lembah Baliem di Wamena, saya melanjutkan perjalanan ke Pulau Asei di Danau Sentani yang hening. Menyinggahi pulau ini sungguh sangat tidak terencana. Sebelum ke Wamena saya hanya berniat untuk melihat Danau Sentani dari dekat, setelah hanya menyaksikan keindahannya saat pesawat yang saya tumpangi mendarat atau lepas landas di Bandara Sentani.
Tidak ada petunjuk yang terlalu jelas dari teman-teman yang saya tanyai tentang kampung-kampung di sekitar Danau Sentani. Atau mungkin saja saya yang tidak terlalu fokus dengan penjelasan mereka. Informasi mereka selalu ditekankan pada legenda berbalut ngeri: "tapi ko hati-hati e. Disana banyak orang mabuk. Dong biasa minta uang atau pukul orang." Mamayo.
Tapi cerita itu sungguh tidak terbukti. Paling tidak sampai malam ini.
Selepas keluar dari Bandara Sentani pagi tadi, saya langsung bertanya kepada beberapa orang bagaimana caranya menjangkau kampung-kampung di tepian Danau Sentani. Oleh seorang ibu penjual nasi pecel, saya disarankan menuju Dermaga Khalkote dengan menumpangi angkot panjang. Di dalam angkot saya bertemu mama-mama yang akan ke pasar baru. Ia menyarankan saya untuk sekalian menyeberang ke pulau jika ingin melihat suasana perkampungan di Danau Sentani. "Lebih baik ke Ayapo atau Asei Pulo. Di Khalkote tidak ada apa-apa. Waktu festival (maksudnya Festival Danau Sentani yang dihelat pada Juni lalu) boleh ramai. Kalo sekarang sepi."
Mama baik di dalam angkot (sungguh sial saya lupa menanyakan namanya) itu pula yang menjelaskan soal ongkos angkot dan ojek menuju Dermaga Khalkote. "Jangan mau ditipu e. (Bersikap) biasa saja. Jangan seperti orang baru."
Memang betul, google map terbaik adalah warga setempat.
Setelah melanjutkan perjalanan dengan ojek, saya pun sampai di Dermaga Khalkote atau sering juga masyarakat sebut sebagai Expo. Sebuah jembatan panjang dengan panorama jajaran bukit hijau terpampang di antara Danau Sentani yang tenang. Tidak terlalu jauh, nampak sebuah pulau kecil dengan jejeran rumah di tepi dan sebuah gereja di puncak bukitnya. "Itu sudah Pulau Asei," kata seorang pengunjung disitu. Baiklah, saya memilih menyeberang kesana saja.
Tidak lama kemudian ada sebuah kapal kecil bermotor yang akan menyeberang ke Pulau Ayapo. Beruntunglah saya karena pengemudinya bersedia mengantar saya ke Pulau Asei terlebih dulu. Tidak terlalu merepotkan buat dia, karena Pulau Asei dan Pulau Ayapo berada dalam satu lintasan perjalanan kapal tersebut.
Hanya sekitar lima menit saya sudah menginjakkan kaki di Pulau Asei. Saya langsung berkenalan dengan Rei, pemuda lokal yang sangat ramah. Bersama beberapa rekannya, ia sedang menikmati sopi, tuak tradisional orang timur. Tak lama berbincang saya pamit untuk melihat suasana kampung di pulau tersebut. Rei dan rekan mempersilakan sambil merekomendasikan Gereja Tua Asei yang terletak di atas bukit untuk saya kunjungi.
Dalam perjalanan menuju Gereja Tua Asei, saya menyaksikan mama-mama yang sedang membuat kerajinan kulit pohon. Menurut mereka, aktifitas tersebut merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat Pulau Asei selain sebagai nelayan. Produk seni kulit kayu Pulau Asei sudah mendapat pasar di Sentani Kota sampai di Jayapura.
Sedikit mendaki ke atas bukit, saya sampai di Gereja Tua Asei. Situs cagar budaya ini sudah ada sejak tahun 1928 dan menjadi penanda sejarah masuknya Kristen yang dibawa oleh misionaris Belanda ke pulau kecil tersebut. Bangunan berbahan kayu tersebut masih difungsikan hingga saat ini. Ibadah misa rutin dilaksanakan saban minggu. "Kadang ada pastor dari Sentani yang datang kesini memimpin ibadah," kata seorang bapak yang saya temui tidak jauh dari tempat itu.
Puas berkeliling pulau dan mengambil foto, saya kembali ke bale-bale tempat nongkrong Rei dan rekan-rekannya di tepi dermaga tadi. Saya bertanya, apakah ada kapal yang bisa saya tumpangi untuk kembali ke Dermaga Khalkote sebelum malam. Tapi Rei memberikan penawaran yang terdengar lebih menarik. "Ah, mas bermalam di sa pu rumah sudah. Besok pagi sa antar ke sebelah."
Jadilah saya bermalam di Pulau Asei malam ini.
Rei (sampai sekarang dia enggan menyebut nama panjangnya) tinggal bersama orang tua dan dua adiknya. Mereka semua seperti Rei, sangat ramah. Sesaat setelah matahari tergelincir, kami makan malam. Santapannya adalah sagu dan ikan bakar segar yang saya beli dari nelayan di dermaga tadi sore. Sedap betul.
Saat menulis jurnal perjalanan ini, saya sedang di dermaga bersama Rei dan beberapa pemuda Pulau Asei. Malam ini langit sedang cerah. Hamparan Danau Sentani tampak tenang sekali. Sedangkan di hadapan kami ada sopi dan kopi yang menemani percakapan tak tentu tema. "Untuk kasi hangat badan, kawan." Semoga demikian.
Saya berharap besok pagi Rei tidak terlalu mabuk untuk mengantar saya menyeberang.


Danau Sentani, 12 Agustus 2017